Kearifan Lokal di Lereng Rinjani: Harmoni Manusia dan Gunung
16 Apr 2025

Di balik megahnya Gunung Rinjani, tersembunyi satu kekuatan lain yang tak kalah hebat: masyarakat yang hidup berdampingan dengan alam, menjaga warisan budaya, dan mewariskan nilai-nilai kearifan lokal dari generasi ke generasi. Mereka bukan sekadar penduduk lereng gunung. Mereka adalah penjaga Rinjani yang sejati.
Sebagian besar masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan Rinjani berasal dari suku Sasak, penduduk asli Pulau Lombok. Dalam kehidupan sehari-hari, mereka memiliki hubungan yang erat dan spiritual dengan gunung. Bagi mereka, Rinjani bukan hanya objek geografis, tapi juga entitas sakral yang dihormati. Dalam banyak kisah dan legenda lokal, Rinjani dianggap sebagai tempat bersemayamnya roh leluhur atau bahkan istana para dewa.
Salah satu bentuk kearifan lokal yang masih terjaga hingga kini adalah tradisi "Pekemit" atau "Perang Topat"—ritual yang menggambarkan toleransi dan harmoni antarumat beragama di Lombok. Perang Topat bukanlah konflik, melainkan perayaan, di mana umat Muslim dan Hindu bersama-sama mempersembahkan hasil bumi di Pura dan Masjid, lalu menutupnya dengan saling lempar ketupat sebagai simbol persaudaraan dan syukur atas berkah alam. Tradisi ini menunjukkan bagaimana budaya lokal tumbuh dari semangat kebersamaan dan keterhubungan dengan alam sekitar.
Dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat sekitar Rinjani juga menerapkan prinsip "pengelolaan berbasis adat". Mereka percaya bahwa alam memiliki batas daya dukung, dan manusia harus tahu kapan harus mengambil, kapan harus memberi, dan kapan harus berhenti. Praktik ini tercermin dalam aturan tidak tertulis tentang kapan boleh membuka ladang, bagaimana menjaga hutan, hingga cara menebang pohon secara selektif. Semuanya dilakukan dengan mempertimbangkan keberlanjutan dan keseimbangan ekosistem.
Kehidupan masyarakat lokal juga sangat bergantung pada keberadaan air yang mengalir dari mata air Rinjani. Mereka membangun sistem irigasi tradisional yang disebut "subak", mirip dengan yang ada di Bali, untuk mengalirkan air ke sawah dan kebun mereka. Di sinilah terlihat jelas bagaimana gunung bukan hanya sumber spiritualitas, tapi juga sumber kehidupan nyata yang menghidupi ribuan orang.
Seiring berkembangnya pariwisata, masyarakat lokal juga mulai beradaptasi. Banyak yang menjadi porter, pemandu pendakian, atau pengelola homestay. Tapi mereka tetap membawa nilai-nilai leluhur dalam setiap pelayanan: ramah, menghormati tamu, dan menjaga alam. Di beberapa desa seperti Senaru, Sembalun, dan Tetebatu, kamu bisa melihat bagaimana budaya lokal dirawat sambil menyambut dunia luar dengan bijak.
Tantangannya, tentu ada. Globalisasi, modernisasi, dan tekanan ekonomi kadang mengancam kelestarian budaya ini. Tapi banyak komunitas lokal yang kini aktif membangun kesadaran bersama, menghidupkan kembali upacara adat, mendirikan pusat budaya, dan melibatkan generasi muda dalam kegiatan pelestarian lingkungan dan budaya. Di sinilah peran wisatawan juga penting—untuk datang tidak hanya sebagai penikmat, tapi sebagai sahabat yang menghargai dan mendukung kearifan lokal.
Mengunjungi Rinjani, berarti juga menyapa masyarakat yang hidup bersahaja di sekitarnya. Duduk di bale bambu sambil menyeruput kopi lokal, mendengar cerita tentang leluhur, atau ikut menanam pohon bersama warga desa adalah bagian dari pengalaman yang tak bisa ditukar dengan foto Instagram semata.
Rinjani bukan hanya milik alam, tapi juga milik manusia yang menjaga dan mencintainya sejak dulu. Dan melalui kearifan lokal inilah, kita diajak untuk melihat bahwa hidup selaras dengan alam bukan sekadar pilihan—tapi cara hidup yang penuh makna.
Sebagian besar masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan Rinjani berasal dari suku Sasak, penduduk asli Pulau Lombok. Dalam kehidupan sehari-hari, mereka memiliki hubungan yang erat dan spiritual dengan gunung. Bagi mereka, Rinjani bukan hanya objek geografis, tapi juga entitas sakral yang dihormati. Dalam banyak kisah dan legenda lokal, Rinjani dianggap sebagai tempat bersemayamnya roh leluhur atau bahkan istana para dewa.
Salah satu bentuk kearifan lokal yang masih terjaga hingga kini adalah tradisi "Pekemit" atau "Perang Topat"—ritual yang menggambarkan toleransi dan harmoni antarumat beragama di Lombok. Perang Topat bukanlah konflik, melainkan perayaan, di mana umat Muslim dan Hindu bersama-sama mempersembahkan hasil bumi di Pura dan Masjid, lalu menutupnya dengan saling lempar ketupat sebagai simbol persaudaraan dan syukur atas berkah alam. Tradisi ini menunjukkan bagaimana budaya lokal tumbuh dari semangat kebersamaan dan keterhubungan dengan alam sekitar.
Dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat sekitar Rinjani juga menerapkan prinsip "pengelolaan berbasis adat". Mereka percaya bahwa alam memiliki batas daya dukung, dan manusia harus tahu kapan harus mengambil, kapan harus memberi, dan kapan harus berhenti. Praktik ini tercermin dalam aturan tidak tertulis tentang kapan boleh membuka ladang, bagaimana menjaga hutan, hingga cara menebang pohon secara selektif. Semuanya dilakukan dengan mempertimbangkan keberlanjutan dan keseimbangan ekosistem.
Kehidupan masyarakat lokal juga sangat bergantung pada keberadaan air yang mengalir dari mata air Rinjani. Mereka membangun sistem irigasi tradisional yang disebut "subak", mirip dengan yang ada di Bali, untuk mengalirkan air ke sawah dan kebun mereka. Di sinilah terlihat jelas bagaimana gunung bukan hanya sumber spiritualitas, tapi juga sumber kehidupan nyata yang menghidupi ribuan orang.
Seiring berkembangnya pariwisata, masyarakat lokal juga mulai beradaptasi. Banyak yang menjadi porter, pemandu pendakian, atau pengelola homestay. Tapi mereka tetap membawa nilai-nilai leluhur dalam setiap pelayanan: ramah, menghormati tamu, dan menjaga alam. Di beberapa desa seperti Senaru, Sembalun, dan Tetebatu, kamu bisa melihat bagaimana budaya lokal dirawat sambil menyambut dunia luar dengan bijak.
Tantangannya, tentu ada. Globalisasi, modernisasi, dan tekanan ekonomi kadang mengancam kelestarian budaya ini. Tapi banyak komunitas lokal yang kini aktif membangun kesadaran bersama, menghidupkan kembali upacara adat, mendirikan pusat budaya, dan melibatkan generasi muda dalam kegiatan pelestarian lingkungan dan budaya. Di sinilah peran wisatawan juga penting—untuk datang tidak hanya sebagai penikmat, tapi sebagai sahabat yang menghargai dan mendukung kearifan lokal.
Mengunjungi Rinjani, berarti juga menyapa masyarakat yang hidup bersahaja di sekitarnya. Duduk di bale bambu sambil menyeruput kopi lokal, mendengar cerita tentang leluhur, atau ikut menanam pohon bersama warga desa adalah bagian dari pengalaman yang tak bisa ditukar dengan foto Instagram semata.
Rinjani bukan hanya milik alam, tapi juga milik manusia yang menjaga dan mencintainya sejak dulu. Dan melalui kearifan lokal inilah, kita diajak untuk melihat bahwa hidup selaras dengan alam bukan sekadar pilihan—tapi cara hidup yang penuh makna.